Indonesia
adalah negara kepulauan yang menyimpan banyak hasil tambang dan
memiliki jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia#. Indonesia menyimpaln
potensi tambang yang cukup besar, menurut BPS pada tahun 2010 Indonesia
mampu memproduksi 300.923.30 juta barrel minyak mentah dan 3.407.592.30
juta barrel gas alam. Namun jika didalam presentase, Indonesia tergolong
sangat kecil jika dibandingkan negara-negara pengekspor minyak lainnya
hanya 0,5% cadangan minyak dunia. Indonesia memiliki juga jumlah
penduduk 237.641.326 jiwa dan laju pertumbuhan mencapai 1,49% per
tahun#. Jumlah penduduk yang sangat besar ini membuat kebutuhan
masyarakat Indonesia menjadi yang paling besar secara nominal
dibandingkan negara-negara sekitarnya seperti Singapura dan Malaysia,
bahkan pasar dalam negeri Indonesia adalah yang terbesar ke-5 di dunia#.
Dengan presentase cadangan minyak mentah dunia yang sangat kecil dan
tingkat konsumtifitas yang sangat besar inilah dan juga dipengaruhi oleh
pertimbangan keamanan cadangan energy nasional maka pada tahun 2004
indonesia resmi menjadi negara pengimport minyak untuk memenuhi konsumsi
dalam negeri dan keluar dari OPEC.
Ketidakmampuan
Indonesia untuk memenuhi konsumsi sendirilah yang membuat Indonesia
harus mengikuti harga energy dunia yang relative cukup mahal untuk
masyarakat Indonesia, dengan desakan dari masyarakat, Kadin, dan politik
dan untuk membantu masyarakat Indonesia untuk berproduktivitas lebih
baik maka pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi BBM. Subsidi BBM
Indonesia ditujukan kepada rakyat miskin untuk meningkatkan kinerja dan
produktivitasnya, walaupun dalam hal ini penulis belum menemukan
undang-undang yang mengatur rigid tentang hal ini. Tetapi pada
kenyataannya harga yang terlalu jenjang antara BBM subsidi dan
Non-subsidi membuat masyarakat yang tidak miskinpun membeli BBM subsidi.
Hal ini direspon pemerintah dengan tidak tegas melakukan sosialisasi
“BBM Subsidi untuk rakyat miskin” dan pada akhirnya dilanggar oleh semua
SPBU di seluruh Indonesia tanpa dikenakan sanksi apapun.
Melihat
beban subsidi pada anggaran pemerintah membukakan mata pemerintah
untuk berbuat sesuatu. Pada tahun 2012 pemerintah berencana untuk
mengurangi subsidi sebesar Rp.1.500,00 per liter pada tanggal 1 April,
tetapi hal ini ditolak oleh DPR dan sebagian rakyat dikarenakan
pemerintah tidak pro terhadap rakyat kecil dan isu-isu strategis
lainnya. Penolakan DPR ini cukup sedikit masuk akal karena memang BBM
ini adalah faktor yang inelastis, dengan dipukul ratanya penurunan
subsidi sebesar Rp. 1.500,00 maka hal ini sangat mengguncang ekonomi
golongan menengah dan miskin dan jika di asumsikan pola konsumsi tetap
maka bisa jadi masyarakat golongan menengah dan miskin tidak mampu
memenuhi kebutuhan primer mereka dan rakyat miskin bertambah. Namun
pemerintah harus mengurangi beban subsidinya, maka pemerintah membentuk
berbagai skema pembatasan BBM subsidi yang pada dasarnya kebijakan ini
adalah non-harga seperti pemasangan stiker mobil, kebijakan pembatasan
penjualan menurut kapasitas mobil. Kebijakan pembelian BBM subsidi
dengan kartu miskin, dan lainnya.
Skema
ini adalah ide yang cukup baik dari pemerintah, namun harus disadari
bahwa ada dampak yang cukup signifikan dari pembatasan penjualan BBM
bersubsidi tersebut. Salah satu dampaknya adalah penurunan omzet SPBU,
sebagian besar penjualan SPBU adalah dari BBM Subsidi sehingga Pertamina
mampu mencatatkan Laba sebesar Rp 162,68 triliun dengan penjualan
sebesar 36,15 juta kiloliter untuk BBM bersubsidi. Pengurangan harga
inipun dapat menjadi sentimental sendiri bagi Pertamina dan SPBU untuk
menolak skema pembatasan subsidi BBM dan juga dapat menjadi alasan
mengapa SPBU tidak ketat menjual BBM Subsidi ke hanya masyarakat miskin.
Dampak lainnya adanya inefektifitas skema, karena sampai saat ini tidak
ada skema yang benar-benar dapat tepat sasaran ke masyarakat miskin.
Contohnya adalah skema pembatasan dengan stiker, jika yang distiker
adalah mobil 1500 cc keatas maka pemilik mobil berjenis city car seperti
Honda jazz yang cc-nya berkisar 1100 hingga 1200cc akan diuntungkan.
Jika inefektifitas ini dihiraukan maka akan menimbulkan masalah
ketidaktegasan pemerintah dan bisa jadi diklaim mendukung suatu merk
atau jenis mobil tertentu.
Penentuan
skema yang tidak mudah membuat pemerintah dinilai lamban dan sering
galau dalam mengambil keputusannya. Pada dasarnya tidak ada skema yang
murni 100% tepat dan pas dengan sasaran, tetapi ada yang dampaknya
paling minimal yang dapat diambil. Dengan metode dan analisis ekonomi
maka tim riset harus dapat mencari mana skema yang jika dijalankan
mempunyai dampai ekonomi dan poitik terkecil hingga pareto optimum,
effisien untuk dijalankan, dan dapat dijalankan secara cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar