Kamis, 26 April 2012

lagi apa? lagi apa dong?

Indonesia adalah negara kepulauan yang menyimpan banyak hasil tambang dan memiliki jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia#. Indonesia menyimpaln potensi tambang yang cukup besar, menurut BPS pada tahun 2010 Indonesia mampu memproduksi 300.923.30 juta barrel minyak mentah dan 3.407.592.30 juta barrel gas alam. Namun jika didalam presentase, Indonesia tergolong sangat kecil jika dibandingkan negara-negara pengekspor minyak lainnya hanya 0,5% cadangan minyak dunia. Indonesia memiliki juga jumlah penduduk 237.641.326 jiwa dan laju pertumbuhan mencapai 1,49% per tahun#. Jumlah penduduk yang sangat besar ini membuat kebutuhan masyarakat Indonesia menjadi yang paling besar secara nominal dibandingkan negara-negara sekitarnya seperti Singapura dan Malaysia, bahkan pasar dalam negeri Indonesia adalah yang terbesar ke-5 di dunia#. Dengan presentase cadangan minyak mentah dunia yang sangat kecil dan tingkat konsumtifitas yang sangat besar inilah dan juga dipengaruhi oleh pertimbangan keamanan cadangan energy nasional maka pada tahun 2004 indonesia resmi menjadi negara pengimport minyak untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dan keluar dari OPEC.

Ketidakmampuan Indonesia untuk memenuhi konsumsi sendirilah yang membuat Indonesia harus mengikuti harga energy dunia yang relative cukup mahal untuk masyarakat Indonesia, dengan desakan dari masyarakat, Kadin, dan politik dan untuk membantu masyarakat Indonesia untuk berproduktivitas lebih baik maka pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi BBM. Subsidi BBM Indonesia ditujukan kepada rakyat miskin untuk meningkatkan kinerja dan produktivitasnya, walaupun dalam hal ini penulis belum menemukan undang-undang yang mengatur rigid tentang hal ini. Tetapi pada kenyataannya harga yang terlalu jenjang antara BBM subsidi dan Non-subsidi membuat masyarakat yang tidak miskinpun membeli BBM subsidi. Hal ini direspon pemerintah dengan tidak tegas melakukan sosialisasi “BBM Subsidi untuk rakyat miskin” dan pada akhirnya dilanggar oleh semua SPBU di seluruh Indonesia tanpa dikenakan sanksi apapun.

Melihat  beban subsidi pada anggaran pemerintah membukakan mata pemerintah untuk berbuat sesuatu. Pada tahun 2012 pemerintah berencana untuk mengurangi subsidi sebesar Rp.1.500,00 per liter pada tanggal 1 April, tetapi hal ini ditolak oleh DPR dan sebagian rakyat dikarenakan pemerintah tidak pro terhadap rakyat kecil dan isu-isu strategis lainnya. Penolakan DPR ini cukup sedikit masuk akal karena memang BBM ini adalah faktor yang inelastis, dengan dipukul ratanya penurunan subsidi sebesar Rp. 1.500,00 maka hal ini sangat mengguncang ekonomi golongan menengah dan miskin dan jika di asumsikan pola konsumsi tetap maka bisa jadi masyarakat golongan menengah dan miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan primer mereka dan rakyat miskin bertambah. Namun pemerintah harus mengurangi beban subsidinya, maka pemerintah membentuk berbagai skema pembatasan BBM subsidi yang pada dasarnya kebijakan ini adalah non-harga seperti pemasangan stiker mobil, kebijakan pembatasan penjualan menurut kapasitas mobil. Kebijakan pembelian BBM subsidi dengan kartu miskin, dan lainnya.

Skema ini adalah ide yang cukup baik dari pemerintah, namun harus disadari bahwa ada dampak yang cukup signifikan dari pembatasan penjualan BBM bersubsidi tersebut. Salah satu dampaknya adalah penurunan omzet SPBU, sebagian besar penjualan SPBU adalah dari BBM Subsidi sehingga Pertamina mampu mencatatkan Laba sebesar Rp 162,68 triliun dengan penjualan sebesar 36,15 juta kiloliter untuk BBM bersubsidi. Pengurangan harga inipun dapat menjadi sentimental sendiri bagi Pertamina dan SPBU untuk menolak skema pembatasan subsidi BBM dan juga dapat menjadi alasan mengapa SPBU tidak ketat menjual BBM Subsidi ke hanya masyarakat miskin. Dampak lainnya adanya inefektifitas skema, karena sampai saat ini tidak ada skema yang benar-benar dapat tepat sasaran ke masyarakat miskin. Contohnya adalah skema pembatasan dengan stiker, jika yang distiker adalah mobil 1500 cc keatas maka pemilik mobil berjenis city car seperti Honda jazz yang cc-nya berkisar 1100 hingga 1200cc akan diuntungkan. Jika inefektifitas ini dihiraukan maka akan menimbulkan masalah ketidaktegasan pemerintah dan bisa jadi diklaim mendukung suatu merk atau jenis mobil tertentu.

Penentuan skema yang tidak mudah membuat pemerintah dinilai lamban dan sering galau dalam mengambil keputusannya. Pada dasarnya tidak ada skema yang murni 100% tepat dan pas dengan sasaran, tetapi ada yang dampaknya paling minimal yang dapat diambil. Dengan metode dan analisis ekonomi maka tim riset harus dapat mencari mana skema yang jika dijalankan mempunyai dampai ekonomi dan poitik terkecil hingga pareto optimum, effisien untuk dijalankan, dan dapat dijalankan secara cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar